Saturday, July 31, 2010

Anakku...

Apa yang anda bayangkan jika anda diminta untuk membesarkan, menuntun dan mendidik anak seorang raja, presiden atau orang besar lainnya. Kemungkinan besar anda akan sangat bangga dan berusaha menjadi pengasuh yang sangat baik. Hal itulah yang saya rasakan saat ini. Saya merasa sedang mengasuh dan membesarkan calon pemimpin masa depan. Pemimpin seperti sahabat-sahabat Nabi yang begitu besarnya sehingga airmata saya selalu mengalir ketika membaca kisah mereka. Pemimpin yang akan mengeluarkan banyak kebaikan dan perubahan bagi rakyatnya. Pemimpin yang tidak merasa sebagai penguasa tapi sebagai pelayan. Pemimpin yang lebih mendambakan tidur beralaskan tikar di lantai atau dibalai bambu karena takut akan perhitungan Allah di akhirat nanti. Pemimpin yang menu makanannya sama dengan makanan rakyat kebanyakan. Pemimpin yang sederhana sehingga orang-orang tidak menyangka bahwa dia adalah pemimpinnya. Pemimpin yang akan membawa banyak keberkahan bukan kemungkaran. Tentu saya akan sangat bangga dan bisa mengatakan kepada Allah di hari perhitungan nanti… Ya Allah, mereka adalah anak-anakku……
Kebanggaan itu begitu terasa dalam kalbuku sehingga hilang rasanya segala masalah, keletihan dan kepenatan yang melanda ketika bekerja. Saat ini saya mempunyai dua orang anak, putra dan putri. Dua orang anak yang begitu lucu dan sangat membanggakan dengan tingkah dan kelakukan mereka. Dua orang anak yang memang sudah ditakdirkan oleh untuk dididik olehku.
Anak lelakiku memiliki kelebihan dari sisi mentalnya. Kuat dan tidak mudah terpengaruh. Tidak cepat puas dan selalu belajar sesuatu yang baru. Melakukan berbagai variasi atas suatu hal yang telah diketahuinya. Sorot matanya tajam seperti elang. Tubuhnya tegap dengan didukung oleh tulang-tulang yang besar seperti ibunya dan gagah sekali. Kekhawatiranku adalah, hal itu akan menjadi daya tarik wanita sehingga bisa menjadi salah satu godaan di hari remajanya.
Anakku yang putri, cantik sekali jika mengenakan kerudung. Alhamdulillah mungkin Allah mengabulkan do’aku agar diberi putri yang pantas memakai kerudung. Kulitnya putih dan halus. Wajahnya cantik dengan rambut yang tebal seperti diriku. Matanya besar dan sinar matanya halus sekali, Ya Allah mudah-mudahan sinar mata itu memang pancaran dari kehalusan perasannya. Saya sangat berharap ia nanti menjadi seorang ustadzah yang sarat dengan pengetahuan agama dan duniawi. Saya juga berdo’a dia juga seorang hafidzah dan seorang doctor.
Apa yang kuharapkan dari mereka?
Orang yang pintar adalah orang memikirkan masa depannya bukan masa yang telah lalu. Orang yang pintar adalah orang yang selalu mengambil hikmah bukan penyesalan. Orang yang pintar adalah orang selalu belajar dari kesalahan bukan mengulanginya. Orang yang pintar adalah orang yang bisa menjadikan generasi berikutnya lebih baik dari generasinya.
Anakku berdua, apa yang bisa abi harapkan dari kalian selain do’a kalian. Agar do’a kalian abi terima kalian harus menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah. Itulah syarat yang diberikan Allah. Selain itu menurut nabi “Manusia terbaik adalah manusia yang berguna bagi manusia lainnya” berarti kalian harus mendapatkan pendidikan formal yang baik dan menjadikan ilmu kalian bagi kebaikan orang banyak.
Saya sangat mengharapkan anak lelakiku menjadi dokter yang baik. Biaya rumah sakit saat ini sangat mahal dan sangat memberatkan bagi kebanyakan masyarakat, padahal sakit adalah fitrah. Pemerintah tidak mampu mengatasi hal ini. Dengan menjadi dokter, mungkin suatu saat kita bisa mempunyai rejeki dan mendirikan rumah sakit sehingga kita bisa memberikan subsidi dari rejeki kita dan membuat harga menjadi lebih murah. Anak perempuanku, jadilah seorang pejuang wanita dimanapun engkau beraktivitas. Mungkin suatu saat engkau menjadi dokter juga, atu seorang ekonom, atau seorang ustadzah atau apapun yang sesuai untukmu, berilah sesuatu kepada masyarakat. Saya melihat pancaran motivasi dan kebaikan dari sinar matamu…
Saat ini umurku sudah 29 tahun, jika merujuk kepada umur Nabi (63 tahun) maka sisa umurku hanya 34 tahun atau mungkin lebih pendek. Anak-anakkku akan menjadi generasi yang lebih baik dariku. Jika dulu saya harus berjuang untuk mendapatkan pendidikan, mereka tidak boleh seperti itu. Mereka hanya berjuang dalam belajar. Mungkin mereka akan menjadi yang terbaik, atau mungkin juga tidak, tapi saya yakin, semangat pejuangku akan menurun pada mereka. Mereka tidak akan mau mengalah dan akan terus berusaha untuk menjadi yang terbaik.
Sulit rasanya membayangkan bagaimana godaan mereka di masa depan. Saat ini, banyak hal buruk yang terjadi. Siaran televisi sangat tidak mendidik, mal-mal mengajarkan hidup konsumtif. Majalah-majalah kebanyakan berisikan gossip dan pertengkaran disbanding kebaikan. Model-model pakaian seolah-olah kembali mengacu kejaman purba dengan bahan yang semakin tipis dan semakin terbuka. Apakah saya bisa menjadikan mereka seperti yang saya harapkan sementara lingkungan begitu beratnya? Saya manusia dan Allah menugaskan saya untuk bekerja dan berusaha dan Allah-lah yang menentukan hasilnya. Hal itulah yang menjadikan saya sedikit tentran, karena saya yakin Allah maha adil.
Anakku.. janganlah kalian melihat ke atas, lihatlah ke bawah. Lihatlah anak-anak seusia kalian yang mencari rizki di perempatan lampu merah, dibaawah jembatan, digunungan sampah, distasiun kereta, stasiun bus dan ditempat-tempat lainnya yang begitu memprihatinkan. Janganlah kalian lengah dan goyah dengan godaan harta dan uang yang kalian miliki.
Anakku, kalian bukan milik abi tapi titipan Allah. Kalian bukan anak orang kaya karena abi merasa miskin dari sisi amal. Kalian bukan anak raja, tapi hamba Allah. Kalian tidak kuat tapi sangat lemah. Cobalah ambil seekor semut dan gigitkanlah semut itu di kulit kalian, sakitkah? Itulah yang menyebabkan kalian begitu lemah. Anakku, janganlah sombong dengan apa yang kalian milikku, karena kesombongan itu adalah milik Allah, merendahlah. Janganlah kalian tinggikan wajah kalian dihadapan manusia, tataplah ke tanah karena itulah tempat kalian kembali. Anakku, dirikanlah sholat karena itu kewajiban kalian dan bukti kalian sebagai hamba Allah. Anakku, jangan sekutukan Allah, karena itu dosa yang tidak terampuni. Anakku, jika kalian mencintai dan menyayangi abi, jadilah anak yang baik dan menjauhi kemungkaran karena kebaikan itulah yang dapat menolong abi dihadapan Allah. Kemungkaran kalian kan menjadikan abi sangat hina dan malu dihadapan Allah dan Rosul.
Anakku, abi adalah masa lalu dan kalian adalah masa depan. Jadilah generasi yang terbaik bagi umat. Jangan kalian menjadi inspirator perpecahan tapi menjadi coordinator persatuan. Jauhilah pertengkaran dan perdebatan

Istriku.....

Saya termasuk orang suka melihat dengan lebih details apa saja yang saya lihat. Hal itu akan saya perhatikan dengan serius sampai pertanyaan di hati ini terjawab. Kadang saya juga tidak mendapatkan jawabannya, tapi hal itu akan terus menjadi pertanyaan dan akhirnya terjawab juga. Banyak orang bilang, kebiasaan itu agak ganjil, tapi itulah kebiasaan saya dan sampai hari ini terus saya lakukan dan kadang saya memberi comment entah itu menyenangkan berupa pujian atau banyak juga yang berupa kritikan.

Hamparan Perak adalah Kampung kelahiran saya. Letaknya sekitar 30 menit dengan mobil dari kota Medan. Kampung saya terdiri dari berbagai suku. Terbesar adalah Melayu (etnis saya), jawa, banjar, batak, china dan lainnya. Dalam perbedaan budaya itu dari dulu saya senang sekali memperhatikan bagaimana sikap mereka dan memang saya simpulkan, walaupun mereka tinggal dalam satu daerah yang sama secara turun-temurun, tetap saja kultur sosial dari etnis tidak bisa disamakan, masing-masing punya cara yang berbeda.

Di kampung saya, kebanyakan seorang istri tinggal di rumah dan suami yang bekerja. Saya memperhatikan bagaimana istri membersihkan rumah, mengasuh anak, menata barang-barang, memasak dan melayani suami ketika di rumah. Seorang suami dengan mudahnya meletakkan pakaian dan istri yang mengumpulkannya serta mencucinya. Jarang sekali saya lihat suami memasak untuk keluarga ketika dia punya banyak waktu di rumah. Ada peraturan yang tak tertulis yang mungkin peninggalan dari turun-temurun dimana seorang istri seperti pelayan dalam kehidupan suami dan istri. Sehingga muncul istilah di kampung saya "ngapain perempuan sekolah tinggi-tinggi, nanti juga didapur".

Kultur itu memang terus berjalan dan abang saya juga begitu. Istrinya adalah wanita yang baik, artinya disuruh apa-apa sama suami jawabannya "baik mas....". Dalam percakapan antara dua lelaki, istri jarang dilibatkan pendapatnya. Mungkin terjadi dialog antara suami dan istri, tapi tidak untuk hal-hal yang memang menjadi preogratif suami untuk memutuskannya. Mungkin sudah kewajiban istri, pagi hari memasak dan mengasuh anak dan suami dihari liburnya tidur.

Pertanyaan saya waktu itu adalah, apakah memang itu kewajiban istri? Apakah istri wajib memasak, mencuci pakaian, mengasuh anak atau singkatnya apakah kewajiban istri sebagai pelayan dalam rumah tangga? Saat itu saya terlalu kecil untuk mendapatkan jawabannya. Saya melihat ibu saya ketika itu dan selama puluhan tahun dia melakukan itu. Kadang saya berfikir, bagaimana perasaan ibu saya melakukan itu. Apakah itu tanggungjawabnya, keikhlasannya, kewajibannya, atau keterpaksaannya.

Pertanyaan itu bergelayut terus dibenak saya sampai tiba saatnya saya kuliah. Saya kuliah di kota Medan dimana kehidupan sangat heterogen. Ketika saya berkunjung kerumah teman kuliah, saya melihat bagaimana ibunya adalah seorang yang pintar. Dia bisa memasak tapi tak jarang suaminya yang memasak. Suaminya sangat menghargai istrinya dan tidak pernah meminta istrinya untuk melakukan pekerjaan rumah tangga yang seperti saya sebut di atas "sebagai pelayan". Kehidupan mereka saya simpulkan jauh dari kehidupan ayah dan ibu saya.
Sedikit perbandingan saya dapat kala itu, apakah kehidupan orang tua teman kuliah saya itu yang benar, tapi saya juga belum bisa menjawabnya.

Kehidupan saya selanjutnya bergeser ke kota Jakarta. Di sini saya benar-benar berjuang untuk survive dan melanjutkan kuliah. Syukur saya kepada Allah karena saya mendapat sahabat-sahabat sejati yang mungkin memang kehendak Allah mempertemukan saya dengan mereka. Saya perhatikan, orangtua mereka juga punya gaya kehidupan yang berbeda. Ada gambaran orangtua yang mirip orang tua saya walaupun lebih modern. Bahkan ada seorang ibu yang tidak bisa memasak dari remajanya sampai usia tuanya. Sesuatu yang belum pernah saya bayangkan saat itu.

Bertambahnya umur membawa saya mengenal seorang gadis yang baik dan ramah. Saya tertarik padanya dan sayapun menyatakan lamaran saya padanya. Dia menerima dan memang itulah yang saya harapkan. Sebelum perkawinan saya pun mencari contoh kehidupan rumah tangga yang benar. Siapa lagi kalau bukan junjungan saya "Nabi Muhammad SAW". Saya membuka hadist-hadist, sirah dan buku apapun yang bisa menggambarkan bagaimana kehidupan suami-istri nabi.

Setelah membaca dan membandingkan dari satu sumber ke sumber lain, saya melihat dan menyimpulkan tugas istri bukan sebagai pelayan tapi sebagai mitra dalam rumah tangga. Banyak kejadian yang membuat saya menyimpulkan hal tersebut. Ada kisah yang menggambarkan nabi tidur di depan rumahnya karena pulang agak malam dan dia takut mengganggu tidur istrinya (Siti Aisyah). Kisah lain menggambarkan bagaimana nabi bersenda gurau bahkan lomba lari dengan istrinya. Para sahabat juga sering melihat nabi menambal sendiri bajunya. Ali bin Abi Tholib juga sering menumbuk gandum untuk dimasak oleh Fatimah atau bagaimana Umar mendengarkan omelan istrinya. Banyak kisah lain yang menggambarkan nabi dan para sahabat saat itu tidak menganggap istrinya sebagai pelayan.

Inputan tersebut membuat saya menyimpulkan bahwa istri adalah seorang teman, sahabat, mitra bisnis, dan apapun istilahnya yang menggambarkan dekatnya hubungan kita dengannya. Istri adalah amanah Allah kepada suami dan ini akan dipertanggungjawabkan suami diakhirat nanti. Jika istri membuat kesalahan maka sepantasnyalah suami mengingatkan agar dia terlepas dari ikut menanggung dosa dari kesalahan istri tersebut. Tapi nabi melarang menggunakan tanggungjawab itu sebagai alasan untuk menyakiti seorang istri baik secara fisik ataupun kata-kata. Istilahnya, istri diciptakan dari tulang yang bengkok, jika kita meluruskannya dengan paksaan maka ia akan patah tapi jika dibiarkan tulang itu akan semakin bengkok. Bayangkan bagaimana seorang suami harus memiliki kesabaran yang luar biasa untuk melakukan itu. Tapi tidakkah itu sebanding dengan besarnya pahala dan rizki yang dilimpahkan Allah kepada seorang suami.

Istriku........
Engkau adalah teman yang paling saya sayangi. Engkau adalah sahabat yang paling kurindukan ketika aku terbaring. Engkau adalah partner yang selalu kunantikan ketika aku duduk, dan Engkau adalah mitra yang paling kuinginkan ketika aku berdiri dan menemaniku dihari-hari hidupku....

Apakah saya bisa menjadi seorang suami yang Engkau harapkan? Hanya Engkaulah yang bisa menjawabnya, tapi Saya akan terus belajar dari hari ke hari untuk memikul tanggungjawab sebagai seorang suami.

Kebahagiaan

Pernahkan anda bertanya pada seorang teman mengenai apa yang dicarinya didunia ini? Saya pernah dan jawabannya berbeda-beda. Ada yang mengatakan "kaya didunia dan mati masuk surga", ada juga "bahagia di dunia, surga di akhirat", ada yang bilang "karier" tapi dari semuanya itu jawaban yang paling banyak adalah kebahagiaan.

Saya pernah bertanya di dalam hati, apa sich itu kebahagiaan? Wujudnya seperti apa? Tempatnya dimana?

Suatu hari saya menolong teman saya di sekolah, dengan pertolongan tersebut teman saya itu berhenti menangis dan saya pun merasa senang dan puas karena saya berhasil menolong dia. Kebahagiaan itu sangat abstrak dan tempatnya ada dalam diri kita. Tepatnya dalam kalbu atau hati kita. Semua orang sebenarnya pasti bisa merasakan bahagia dan tidak bahagia. Ketika ditimpa banyak persoalan, pressure yang tinggi, timbul rasa tidak nyaman dan tidak bahagia, kenapa? Karena persoalan dan tekanan itu telah menghimpit kalbu kita sehingga seolah-olah kalbu itu terjepit dengan hebatnya dan mengecil. Tapi coba bandingkan jika kita meraih sesuatu. Kemenangan, kesuksesan, pencapaian cita-cita atau apapun yang menyebabkan kalbu kita terasa lapang dan luas.

Dengan penjelasan di atas, saya mencoba merinci teori kenapa sebenarnya manusia bisa merasa bahagia atau tidak bahagia. Teori saya ini tidak mutlak dan tidak dijamin kebenarannya, tapi itulah kesimpulan saya saat ini. Inti dari kebahagiaan adalah kemampuan untuk menerima masalah apapun, kekecewaan apapun dan tekanan bagaimanapun setara dengan kemampuan kita menerima kesuksesan dan kemenangan. Lebih details lagi, ciptakanlah suasana kalbu yang luas dan lapang dalam kondisi apapun.

Masalah utama saya sebagai manusia adalah keinginan untuk selalu menang dan mencapai apa yang saya inginkan. Lebih dalam lagi sebenarnya bukan yang saya inginkan, tapi nafsu saya yang inginkan. Kalau begitu, lawanlah nafsu itu. Ketika terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan, tentu perasaan pertama yang muncul mungkin marah, kecewa, tidak senang, cemberut atau apapun ekspresi ketidaksenangan. Bisakah kita balikkan "first expresion" itu menjadi kesabaran, berfikir positif, jiwa besar, mengambil hikmah dan belajar untuk mendapatkan yang lebih baik. Ketika orang berkata sesuatu yang berburuk kepada saya, Apakah saya langsung berekspresi "emang dia orang suci, dia juga kan begini dan begitu" atau kita mendengarkan dan mencari kebenaran, jika benar kita perbaiki dan jika salah kita anggap angin lalu. Bukankah segala yang baik datang dari Allah dan segala yang buruk datang dari syetan. Kalau kita berekspresi sama seperti yang pertama (bales menjelekkan) apa beda saya dengannya. Apa beda pemahaman saya tentang kebahagiaan dengannya. Apa beda pemahaman agama saya dengannya. Tidak ada bedanya....

Menurut saya, dalam hidup kita pasti akan mendapatkan masalah. Tidak ada yang lebih besar dari yang lainnya. Kenapa? Karena Allah maha adil, dan Allah hanya memberikan masalah sesuai kemampuannya untuk menanganinya. Tapi jangan lupa, setiap manusia punya kelas yang berbeda dalam menangani masalah. Kelas tinggi tentu tidak sama dengan kelas menengah dan kelas rendah. Perbedaan kelas ini juga menunjukkan derajat orang tersebut. Kalau kita sepakat bahwa hidup itu pasti ada masalah, kenapa kita takut dapat masalah? Tidak dicari juga masalah itu akan datang. Lalu kenapa kita harus berpusing ria dengan masalah tersebut, bahkan ada yang gantung diri. Kita ini manusia, ketika kita berfikir batas otak dan tubuh kita tidak mampu lagi menampung masalah tersebut, serahkan pada Allah. Tugas kita berusaha dan Allah tidak mengenal kata putus asa, hanya kita sebagai manusia yang merasa dizalimi oleh-Nya.

Cobalah anda urutkan, sepanjang hidup anda, berapa panjang masalah yang telah anda hadapi dan anda selesaikan. Saya yakin sangat panjang dan tebal. Coba anda renungkan, bagaimana mungkin anda bisa menyelesaikan semuanya, padahal jumlahnya begitu banyak. Itulah kehendak Allah dan bukti kebesaran Allah. Jangan menyerah, jika cara ini tidak bisa menyelesaikan, pakai cara lain dan terussss coba cara lain dan saya sangat yakin, Allah pasti memberi hasil, karena Allah maha adil.

Sebenarnya kebahagiaan itu ada di hati dan banyak orang tidak menemukannya karena ia tidak mencarinya disana. Dia berkeliling dunia, mencari berbagai cara, pergaulan bebas, narkoba dan lainnya sebagai pelarian, tapi sebenarnya ia ada dalam diri kita. Kebahagiaan itu sangat mudah dicari sebenarnya kalau kita mau meneteskan airmata betapa lemahnya kita sebagai manusia dan kembali pada fitrah kita. Kebahagiaan itu akan terpancar dari wajah jika kita menemukannya.

Saya sudah menemukannya pada orang yang saya cintai.... Lihatlah wajahnya, bandingkan wajahnya dengan orang lain dan jika hati nurani mengevaluasinya akan terlihat perbedaan cahaya.... itulah yang saya maksud.

Selamat mencari.....