Saya termasuk orang suka melihat dengan lebih details apa saja yang saya lihat. Hal itu akan saya perhatikan dengan serius sampai pertanyaan di hati ini terjawab. Kadang saya juga tidak mendapatkan jawabannya, tapi hal itu akan terus menjadi pertanyaan dan akhirnya terjawab juga. Banyak orang bilang, kebiasaan itu agak ganjil, tapi itulah kebiasaan saya dan sampai hari ini terus saya lakukan dan kadang saya memberi comment entah itu menyenangkan berupa pujian atau banyak juga yang berupa kritikan.
Hamparan Perak adalah Kampung kelahiran saya. Letaknya sekitar 30 menit dengan mobil dari kota Medan. Kampung saya terdiri dari berbagai suku. Terbesar adalah Melayu (etnis saya), jawa, banjar, batak, china dan lainnya. Dalam perbedaan budaya itu dari dulu saya senang sekali memperhatikan bagaimana sikap mereka dan memang saya simpulkan, walaupun mereka tinggal dalam satu daerah yang sama secara turun-temurun, tetap saja kultur sosial dari etnis tidak bisa disamakan, masing-masing punya cara yang berbeda.
Di kampung saya, kebanyakan seorang istri tinggal di rumah dan suami yang bekerja. Saya memperhatikan bagaimana istri membersihkan rumah, mengasuh anak, menata barang-barang, memasak dan melayani suami ketika di rumah. Seorang suami dengan mudahnya meletakkan pakaian dan istri yang mengumpulkannya serta mencucinya. Jarang sekali saya lihat suami memasak untuk keluarga ketika dia punya banyak waktu di rumah. Ada peraturan yang tak tertulis yang mungkin peninggalan dari turun-temurun dimana seorang istri seperti pelayan dalam kehidupan suami dan istri. Sehingga muncul istilah di kampung saya "ngapain perempuan sekolah tinggi-tinggi, nanti juga didapur".
Kultur itu memang terus berjalan dan abang saya juga begitu. Istrinya adalah wanita yang baik, artinya disuruh apa-apa sama suami jawabannya "baik mas....". Dalam percakapan antara dua lelaki, istri jarang dilibatkan pendapatnya. Mungkin terjadi dialog antara suami dan istri, tapi tidak untuk hal-hal yang memang menjadi preogratif suami untuk memutuskannya. Mungkin sudah kewajiban istri, pagi hari memasak dan mengasuh anak dan suami dihari liburnya tidur.
Pertanyaan saya waktu itu adalah, apakah memang itu kewajiban istri? Apakah istri wajib memasak, mencuci pakaian, mengasuh anak atau singkatnya apakah kewajiban istri sebagai pelayan dalam rumah tangga? Saat itu saya terlalu kecil untuk mendapatkan jawabannya. Saya melihat ibu saya ketika itu dan selama puluhan tahun dia melakukan itu. Kadang saya berfikir, bagaimana perasaan ibu saya melakukan itu. Apakah itu tanggungjawabnya, keikhlasannya, kewajibannya, atau keterpaksaannya.
Pertanyaan itu bergelayut terus dibenak saya sampai tiba saatnya saya kuliah. Saya kuliah di kota Medan dimana kehidupan sangat heterogen. Ketika saya berkunjung kerumah teman kuliah, saya melihat bagaimana ibunya adalah seorang yang pintar. Dia bisa memasak tapi tak jarang suaminya yang memasak. Suaminya sangat menghargai istrinya dan tidak pernah meminta istrinya untuk melakukan pekerjaan rumah tangga yang seperti saya sebut di atas "sebagai pelayan". Kehidupan mereka saya simpulkan jauh dari kehidupan ayah dan ibu saya.
Sedikit perbandingan saya dapat kala itu, apakah kehidupan orang tua teman kuliah saya itu yang benar, tapi saya juga belum bisa menjawabnya.
Kehidupan saya selanjutnya bergeser ke kota Jakarta. Di sini saya benar-benar berjuang untuk survive dan melanjutkan kuliah. Syukur saya kepada Allah karena saya mendapat sahabat-sahabat sejati yang mungkin memang kehendak Allah mempertemukan saya dengan mereka. Saya perhatikan, orangtua mereka juga punya gaya kehidupan yang berbeda. Ada gambaran orangtua yang mirip orang tua saya walaupun lebih modern. Bahkan ada seorang ibu yang tidak bisa memasak dari remajanya sampai usia tuanya. Sesuatu yang belum pernah saya bayangkan saat itu.
Bertambahnya umur membawa saya mengenal seorang gadis yang baik dan ramah. Saya tertarik padanya dan sayapun menyatakan lamaran saya padanya. Dia menerima dan memang itulah yang saya harapkan. Sebelum perkawinan saya pun mencari contoh kehidupan rumah tangga yang benar. Siapa lagi kalau bukan junjungan saya "Nabi Muhammad SAW". Saya membuka hadist-hadist, sirah dan buku apapun yang bisa menggambarkan bagaimana kehidupan suami-istri nabi.
Setelah membaca dan membandingkan dari satu sumber ke sumber lain, saya melihat dan menyimpulkan tugas istri bukan sebagai pelayan tapi sebagai mitra dalam rumah tangga. Banyak kejadian yang membuat saya menyimpulkan hal tersebut. Ada kisah yang menggambarkan nabi tidur di depan rumahnya karena pulang agak malam dan dia takut mengganggu tidur istrinya (Siti Aisyah). Kisah lain menggambarkan bagaimana nabi bersenda gurau bahkan lomba lari dengan istrinya. Para sahabat juga sering melihat nabi menambal sendiri bajunya. Ali bin Abi Tholib juga sering menumbuk gandum untuk dimasak oleh Fatimah atau bagaimana Umar mendengarkan omelan istrinya. Banyak kisah lain yang menggambarkan nabi dan para sahabat saat itu tidak menganggap istrinya sebagai pelayan.
Inputan tersebut membuat saya menyimpulkan bahwa istri adalah seorang teman, sahabat, mitra bisnis, dan apapun istilahnya yang menggambarkan dekatnya hubungan kita dengannya. Istri adalah amanah Allah kepada suami dan ini akan dipertanggungjawabkan suami diakhirat nanti. Jika istri membuat kesalahan maka sepantasnyalah suami mengingatkan agar dia terlepas dari ikut menanggung dosa dari kesalahan istri tersebut. Tapi nabi melarang menggunakan tanggungjawab itu sebagai alasan untuk menyakiti seorang istri baik secara fisik ataupun kata-kata. Istilahnya, istri diciptakan dari tulang yang bengkok, jika kita meluruskannya dengan paksaan maka ia akan patah tapi jika dibiarkan tulang itu akan semakin bengkok. Bayangkan bagaimana seorang suami harus memiliki kesabaran yang luar biasa untuk melakukan itu. Tapi tidakkah itu sebanding dengan besarnya pahala dan rizki yang dilimpahkan Allah kepada seorang suami.
Istriku........
Engkau adalah teman yang paling saya sayangi. Engkau adalah sahabat yang paling kurindukan ketika aku terbaring. Engkau adalah partner yang selalu kunantikan ketika aku duduk, dan Engkau adalah mitra yang paling kuinginkan ketika aku berdiri dan menemaniku dihari-hari hidupku....
Apakah saya bisa menjadi seorang suami yang Engkau harapkan? Hanya Engkaulah yang bisa menjawabnya, tapi Saya akan terus belajar dari hari ke hari untuk memikul tanggungjawab sebagai seorang suami.
No comments:
Post a Comment