Sebuah kata yang menjadi inspirasi untuk jutaan lagu diseluruh dunia. Kata yang memberikan makna dari berbagai rasa dalam kehidupan. Satu kata yang menjadi alasan untuk sebuah pengorbanan dalam kehidupan. Kata yang memotivasi orang untuk menembus hujan, menyeberangi lautan, menahan lapar dan haus, menguras airmata, menumbuhkan keberanian, menjadikan hidup lebih hidup kata anak-anak muda saat ini. Kata itu adalah "cinta". Cukup sederhana bukan. hanya 5 huruf, C I N T A tapi cobalah dalami dengan beribu makna, selami melalui dalamnya jiwa, mengembara luasnya samudera hati, alangkah indahnya lima huruf itu, alangkah maha besarnya Tuhan telah menanamkan rasa itu di dalam hati manusia. Sungguh kita harus bersyukur, karena cinta menjadikan hidup ini terasa begitu berwarna.
Cinta sebenarnya mempunyai makna dan hidup dalam situasi yang begitu luas. Tapi, untuk tulisan ini, saya akan menyederhanakannya dengan mendefinisikan cinta sebagai sebuah alasan dan makna sehingga dua anak manusia yang berbeda menyatakan komitmen mereka untuk bersatu, menembus batas perbedaan, melepaskan begitu banyak keinginan, dengan satu tujuan yaitu mengarungi bahtera rumah tangga dengan visi untuk menjadi keluarga sakinah, mawaddah, warohmah dan menghasilkan generasi penerus yang sholeh dan sholehah. Apakah ada pasangan yang menyatakan cinta diantara mereka, bersedia berkorban agar mereka bisa bersatu, saling percaya, menjadikan cinta sebagai perekat atas perbedaan yang ada, tidak mau bahagia? Tidak dan pasti tidak. Semuanya mempunyai harapan dan bayangan bahwa setelah mereka bersatu maka hidup pasti akan dihiasi dengan tawa, dengan senyuman, dengan keindahan, dengan kebahagiaan. Nah, itulah kata yang selalu didengungkan oleh setiap orang yaitu "kebahagiaan".
Dalam kitab suci, Tuhan berkata "Sesungguhnya, aku tidak akan merubah nasib suatu kaum hingga kaum itu mau merubah nasibnya sendiri". Apa yang dimaksud Tuhan dengan semua itu? Apakah Tuhan sudah tidak mau mendengar do'a hamba-Nya lagi? Apakah Tuhan sudah bosan dengan makhluk yang bernama manusia? Sulit rasanya membayangkan bahwa Tuhan yang Maha Adil akan berlaku begitu. Sesungguhnya Tuhan sangat penyayang kepada manusia, karena itu Tuhan memberikan kesempatan berusaha kepada setiap umat-Nya untuk menggantungkan nasibnya pada usahanya. Tuhan akan menilai usaha mereka dan memberikan mereka hadiah yang terbaik. Seandainya "bahagia" adalah hadiah yang ingin kita capai, berarti kita harus berusaha dengan sungguh-sungguh, berkorban dengan keikhlasan dan kesabaran, sehingga Tuhan memberikan hadiah itu kepada kita.
Mungkin perlu untuk merenung dalam kehidupan ini dan kembali memutar memori masa lalu untuk melihat apakah kehidupan yang kita jalani selama ini memang telah sesuai dengan konsep "fitrah" yang dianugerahkan Tuhan. Apakah kita sudah berlaku benar kepada norma-norma yang telah digariskan. Norma agama, kemanusiaan, sosial, adat, kebiasaan di masyarakat. Apakah kita memahami etika dan menghargai bahwa seluruh sektor kehidupan ini memiliki aturan yang tak tertulis yang disebut etika. Renungkanlah sedalam-dalamnya, apakah kita tidak menzalimi orang lain. Apakah kita secara pribadi dan etika yang berlaku secara umum, telah berlaku benar kepada orang-orang yang terdekat seperti istri dan anak-anak kita. Mungkinkah komitmen cinta dalam realisasi rumah tangga mampu merubah cara pandang kita akan arti sebuah hubungan. Seberapa sering kita membohongi diri dan hati nurani dan untuk membela ego itu, kita menyakiti diri untuk berbohong kepada orang lain. Seberapa besar lubang yang telah kita ciptakan untuk menjadikan diri ini terperosok didalamnya dimasa depan. Sebenarnya siapa yang sedang kita sakiti, Tuhan, orang-orang terdekat yang selalu kita bela dengan alasan "cinta", ego diri kita sendiri atau memang kita tidak tahu sebenarnya hidup ini buat apa? Banyak pertanyaan yang bisa kita tulis sehingga dari perenungan itu memberikan secercah cahaya dengan air mata dan sebuah komitmen baru, "aku harus berubah".
Seorang pencuri dan penipu sekalipun, pasti ingin mendapatkan teman yang jujur dan komitmen meskipun pekerjaan mereka menyatakan sebaliknya. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang mau hidup dengan orang-orang yang suka berbohong dan tidak menepati janji. Andai setiap orang menyadari keinginan itu adalah kebutuhan, alangkah indahnya dunia ini. Tidak ada seorangpun yang saling curiga, iri, dengki dan melakukan apa saja untuk membuktikan bahwa saya benar dan mereka salah. Tidak ada yang dapat diperoleh dari sebuah kemenangan tapi menyakiti orang lain. Lihatlah wajah-wajah orang-orang yang kita sayangi atau orang-orang yang pernah kita sayangi. Berapa banyak wajah-wajah itu hadir dalam ingatan kita. Membayangkan indahnya senyum mereka dan betapa sedihnya jika melihat mereka bersedih. Komitmen adalah satu kata untuk merealisasikan apapun "makna cinta" yang kita definisikan untuk hidup ini.
Komitmen adalah keinginan untuk menjadikan semuanya seperti rencana dan terealisasi dalam bayangan imajinasi sehingga benar-benar ada dalam kehidupan ini. Anda adalah penentu dari begitu banyak kemungkinan-kemungkinan yang ada tapi percayalah semuanya bukan rekaan, pengorbanan akan menjadikan cinta itu menjadi begitu bermakna dan begitu nyata. Cinta itu hak setiap orang, jagalah ia dengan komitmen, sehinggu hidup menjadi begitu bermakna...
Saturday, August 7, 2010
Tuesday, August 3, 2010
Redenominasi Vs. Sanering
Tiba-tiba saja, dunia ekonomi digegerkan oleh wacana yang langsung disampaikan oleh gubernur BI (Bapak Darmin Nasution) dan akan diusulkan tahun ini juga kepada pemerintah dan DPR mengenai redenominasi rupiah. Bayangkan jika anda punya gaji Rp. 3.000.000,- lalu tiba-tiba bulan depan di slip gaji anda berkurang tiga digit sehingga gaji anda hanya Rp. 3.000,- Pertanyaan besarnya adalah apa yang dimaksud dengan redenominasi mata uang? Apa perbedaannya dengan Sanering yang pernah dilakukan pada tahun 1959 dan 1966? Kemudian, apa untung-ruginya bagi perekonomian? Bagaimana melakukannya?
Sanering Uang
Tahun 1959 dan tahun 1966 adalah contoh riel dari pelaksanaan sanering uang. Saat itu ada kebijakan memotong nilai uang 50% dari nilai nominal atau dengan bahasa mudahnya, jika anda punya uang seribu, nilainya tinggal lima ratus saja. Jadi jika anda punya simpanan deposito sebesar 1 milyar, maka dalam jangka waktu satu hari, simpanan anda hilang setengahnya. Sayangnya, nilai yang dipotong hanya posisi nilai uang saja sementara harga barang tetap. Mengapa begitu? Karena fungsi sanering adalah menurunkan permintaan dengan cara menghilangkan sebagian daya beli melalui jumlah uang yang dimiliki.
Ekonomi dasar menjelaskan :
Harga Naik = Permintaan > Penawaran
Artinya secara sederhana, dapat dijelaskan jika permintaan atas suatu barang diturunkan maka otomatis penawaran akan menjadi lebih besar sehingga harga akan turun. Cara ekstrim untuk menurunkan permintaan adalah mengurangi jumlah uang yang dimiliki masyarakat. Orang-orang yang tadinya punya uang 10.000 rupiah misalnya dan cukup untuk membeli 1 kg. beras, dengan sanering 50% uangnya tinggal 5.000 rupiah dan hanya cukup untuk membeli setengah kilo beras. Cara ini cukup efektif dimana pada tahun 1966, inflasi sebesar 650% bisa turun menjadi 38% ditahun 1967 dan tinggal 22% tahun 1968 dan dibawah 15% tahun 1969. Meskipun begitu, kepanikan yang ditimbulkan menjadi luar biasa. Daya beli turun drastis dan mengakibatkan kemiskinan massal dan kelangkaan pangan karena sebagian besar masyarakat tidak memiliki daya beli.
Redenominasi Nilai Uang
Indonesia belum pernah melakukan kebijakan redenominasi nilai uang. Ada dua negara sebagai contoh nyata pelaksanaan sistem ini yaitu Turki dan Rumania. Dibutuhkan 10 tahun bagi Turki dan lebih dari 7 tahun bagi Rumania untuk menstabilkan kondisi ekonomi negeri mereka melalui kebijakan ini. Sistem ini sebenarnya simple saja. Uang 1.000,- setara dengan 1 rupiah. Jadi jika anda ingin membeli mainan seharga Rp. 5.000,- cukup berikan 5 rupiah saja. Disini dapat kita lihat perbedaan utama antara "sanering" dengan "redenominasi". Pada 'sanering', nilai nominal dan riel uang sama-sama dipotong sementara pada 'redenominasi', nilai nominal uang dipotong sementara nilai riel-nya tetap. Misalnya anda punya uang Rp. 1.000,- (seribu rupiah). Dengan 'sanering 50%' nilai nominal dan riel uang menjadi Rp. 500,- (lima ratus rupiah) sementara dengan sistem 'redenominasi 3 digit (kurang 000 dibelakang), nilai nominal menjadi Rp. 1,- (satu rupiah) tapi nilai riel-nya tetap Rp. 1.000,- (seribu rupiah).
Fungsi Uang
Secara umum ada tiga fungsi uang:
1. Sebagai alat transaksi
2. Sebagai alat untuk berjaga-jaga
3. Sebagai alat untuk mengukur dan menyimpan kekayaan
Berikut perbandingan antara sanering dengan redenominasi nilai uang berdasarkan fungsi uang
Sanering redenominasi
Alat Transaksi Daya Beli Berkurang Daya Beli Tetap
Alat Berjaga-jaga Cadangan uang berkurang Cadangan uang tetap
Kekayaan Berkurang Tetap
Dari perbandingan itu, secara sepintas rasanya redenominasi tidak ada pengaruhnya, cuma berubah anggapan saja? Jadi apa fungsinya? Secara umum bagi perekonomian nasional memang begitu. Tapi jika dikaitkan dengan ekonomi regional dan global maka fungsi redenominasi menjadi lebih besar.
Berikut data negara dengan mata uang terbesar untuk tiap lembar uangnya:
Zimbabwe 100.000.000.000
Vietnam 500.000
Indonesia 100.000
Indonesia diperekonomian global berada pada urutan ke-3, negara-negara yang memiliki pecahan mata uang terbesar. Jika kita melihat daftar nilai tukar mata uang di bank saja misalnya:
USD 1 = Rp. 9.200,- (Indonesia)
USD 1 = SGD 1,4,- (Singapura)
USD 1 = Bath 41,- (Thailand)
USD 1 = Ringgit 4,2,- (Malaysia)
Bayangkan, bahwa di antara negara tetangga terdekat saja, nilai uang kita paling kecil. Artinya, secara global kewibawaan mata uang rupiah menjadi sangat kurang. Jumlah uang beredar kita paling besar secara nominal. Karena besarnya, sehingga transaksi ekonomi menjadi tidak efisien jika menggunakan pecahan mata uang kecil, maka BI menerbitkan pecahan mata uang besar (100 ribu rupiah). Andai anda ingin menarik uang senilai 200 juta untuk membeli mobil secara cash, sementara pecahan uang terbesar cuma Rp. 10.000,-. Artinya anda harus membawa dua koper besar untuk membawa uang pecahan 10 ribu rupiah sebanyak 20.000,- lembar. Berapa besar ruangan yang dibutuhkan jika harus menyimpan uang sebesar 10 Trilyun dengan pecahan maksimal Rp. 10.000,- Andaikan jumlah uang kartal (riel) yang beredar sebesar 250 Trilyun dan setiap hari BI menyerap 50 Trilyun. Dengan pecahan Rp. 10.000,- berarti BI harus membangun gedung baru hanya utnuk menyimpan uang itu. Luar biasa kan?
Masalah kewibawaan ini sangat besar pengaruhnya dalam transaksi global. Jika anda pergi ke Singapura, berarti anda perlu membawa uang kas mungkin jumlahnya 10 juta rupiah jika tidak sempat menukarnya dalam mata uang SGD. Apakah anda bisa langsung bertransaksi? Saya jamin tidak ada yang mau menerima uang itu. Anda harus ke money changer dulu untuk mengkonversinya menjadi rupiah. Sayangnya tidak semua money changer menerima rupiah. Ringgit Malaysia bahkan lebih laku di sana dibanding mata uang negara kita yang besar dan luas ini. Saya sampai tercengang melihat kenyataan itu dan sedih juga. Anggaplah anda bertemu dengan money changer yang mau menerima, lalu dengan kurs Rp. 6.500,- per SGD maka sekarang anda menerima SGD 1.540,-. Bayangkan uang 10 juta rupiah atau sebanyak 100 lembar dalam pecahan Rp. 100.000,- tinggal menjadi 17 lembar (15 lembar pecahan 100 dan 2 lembar pecahan 20 SGD). Sekarang anda bisa memasukkan lembaran itu dalam dompet saku anda. Bagaimana kalau anda lupa membawa USD atau EUR, lalu buru-buru anda pergi ke Inggris misalnya. Kemana anda akan menarik uang? Mungkin ada bank yang bisa, tapi saya khawatir apakah mereka punya persediaan rupiah? Wah, sulit sekali menjawabnya.....
Pelaksanaan Redenominasi
Untuk melakukan redenominasi, persyaratan pertama yang harus ditempuh BI adalah mendapatkan restu dari pemerintah (pelaksana kebijakan fiskal) dan DPR (kebijakan legislasi). Pelaku kebijakan moneter (BI) dan kebijakan fiskal (Depkeu) harus berkoordinasi secara cepat, tepat dan sungguh-sungguh, terutama sosialisasi ke masyarakat yang paling bawah. Paling tidak harus diatur agar harga barang-barang di toko dan di pasar jangan sampai berubah drastis dan dalam jangka waktu yang agak panjang dibiarkan ada dua mata uang yang beredar. Misalnya pecahan 1.000 sekarang tetap ada lalu dikeluarkan juga pecahan yang setara (Rp. 1,-) paling tidak selama dua tahun atau lebih, sehingga masyarakat secara alamiah bisa belajar dan mengetahui kebijakan ini. Juga harus dipantau dan dimonitor langsung ke pasar-pasar (jika perlu ada poskonya) dimana dikhawatirkan para pelaku transaksi ekonomi riel di daerah-daerah salah mengerti sehingga mengarah pada kerusuhan. Fungsi polsek mungkin sangat memungkinkan untuk dimaksimalkan sebagai agen sosialisasi di daerah-daerah terutama daerah dengan tingkan turn-over (perputaran ekonomi) yang rendah. Selanjutnya, proses penggantian uang lama dengan uang baru juga harus perlahan-lahan dan jangan ekstrim untuk menghindari adanya issue bahwa uang lama sudah tidak laku misalnya.
Syarat kedua agar pelaksanaan kebijakan ini berhasil adalah inflasi yang stabil. Inflasi adalah suatu kondisi dimana harga-harga barang mengalami kenaikan secara umum dalam periode waktu tertentu. Pemerintah harus menjamin distribusi barang secara ketat. Jika inflasi melonjak, maka secara umum nilai riel uang mengecil sehingga untuk menggenjot nilai riel uang, jumlah uang beredar kembali dinaikkan dan pada akhirnya, nilai uang kembali pada pecahan besar seperti saat ini. Syarat ini tidak mudah dilakukan, karena banyaknya faktor yang mempengaruhi inflasi di negeri ini. Tidak hanya ketersediaan dan distribusi, faktor nilai tukar juga harus diperhatikan karena besarnya struktur komponen impor dalam transaksi ekonomi nasional. Otomatis jika nilai tukar melemah, maka harga impor akan naik dan ujung-ujungnya harga barang juga mengalami kenaikan. Jika ini terjadi, akhirnya pemerintah kembali harus menaikkan jumlah uang beredar dan pecahan besar kembali terjadi.
Syarat ketiga adalah kemandirian ekonomi nasional terutama untuk barang-barang kebutuhan pokok yang menjadi mayoritas transaksi. Paling tidak barang-barang seperti beras, jagung, kedelai, daging, pakan ternak, pupuk, pestisida dan barang-barang hulunya sebagian besar bisa dipasok dari dalam negeri. Barang-barang ini disebut "inflation trigger" atau barang-barang yang bisa memicu terjadinya inflasi secara cepat dalam periode waktu yang lama.
Syarat keempat menurut saya adalah kondisi politik dan keamanan yang kondusif . Indonesia masih harus belajar memisahkan antara ekonomi dan politik secara benar. Sehingga gonjangan yang terjadi pada politik tidak terpengaruh pada ekonomi. Harus ada konsistensi kebijakan minimal 5 (lima) tahun ke depan serta proses monitoring dan review yang jelas dan akurat.
Kebijakan ini bukan tanpa biaya. Menurut saya, BI paling tidak harus mengeluarkan trilyunan rupiah untuk pencetakan uang baru, sosialisi dan monitorisasi pelaksanaannya. Untuk pelaksaan 3D (Dilihat, Diraba, Diterawang = iklan untuk mengecek keaslian uang), BI harus menghabiskan ratusan milyar untuk iklan diberbagai media. Apalagi kebijakan redenominasi yang memakan waktu tahunan dan frekwensi iklan tidak saja cetak dan elektronika bahkan poster tempel yang jumlahnya jutaan lembar.
Regards,
Anshari
Sanering Uang
Tahun 1959 dan tahun 1966 adalah contoh riel dari pelaksanaan sanering uang. Saat itu ada kebijakan memotong nilai uang 50% dari nilai nominal atau dengan bahasa mudahnya, jika anda punya uang seribu, nilainya tinggal lima ratus saja. Jadi jika anda punya simpanan deposito sebesar 1 milyar, maka dalam jangka waktu satu hari, simpanan anda hilang setengahnya. Sayangnya, nilai yang dipotong hanya posisi nilai uang saja sementara harga barang tetap. Mengapa begitu? Karena fungsi sanering adalah menurunkan permintaan dengan cara menghilangkan sebagian daya beli melalui jumlah uang yang dimiliki.
Ekonomi dasar menjelaskan :
Harga Naik = Permintaan > Penawaran
Artinya secara sederhana, dapat dijelaskan jika permintaan atas suatu barang diturunkan maka otomatis penawaran akan menjadi lebih besar sehingga harga akan turun. Cara ekstrim untuk menurunkan permintaan adalah mengurangi jumlah uang yang dimiliki masyarakat. Orang-orang yang tadinya punya uang 10.000 rupiah misalnya dan cukup untuk membeli 1 kg. beras, dengan sanering 50% uangnya tinggal 5.000 rupiah dan hanya cukup untuk membeli setengah kilo beras. Cara ini cukup efektif dimana pada tahun 1966, inflasi sebesar 650% bisa turun menjadi 38% ditahun 1967 dan tinggal 22% tahun 1968 dan dibawah 15% tahun 1969. Meskipun begitu, kepanikan yang ditimbulkan menjadi luar biasa. Daya beli turun drastis dan mengakibatkan kemiskinan massal dan kelangkaan pangan karena sebagian besar masyarakat tidak memiliki daya beli.
Redenominasi Nilai Uang
Indonesia belum pernah melakukan kebijakan redenominasi nilai uang. Ada dua negara sebagai contoh nyata pelaksanaan sistem ini yaitu Turki dan Rumania. Dibutuhkan 10 tahun bagi Turki dan lebih dari 7 tahun bagi Rumania untuk menstabilkan kondisi ekonomi negeri mereka melalui kebijakan ini. Sistem ini sebenarnya simple saja. Uang 1.000,- setara dengan 1 rupiah. Jadi jika anda ingin membeli mainan seharga Rp. 5.000,- cukup berikan 5 rupiah saja. Disini dapat kita lihat perbedaan utama antara "sanering" dengan "redenominasi". Pada 'sanering', nilai nominal dan riel uang sama-sama dipotong sementara pada 'redenominasi', nilai nominal uang dipotong sementara nilai riel-nya tetap. Misalnya anda punya uang Rp. 1.000,- (seribu rupiah). Dengan 'sanering 50%' nilai nominal dan riel uang menjadi Rp. 500,- (lima ratus rupiah) sementara dengan sistem 'redenominasi 3 digit (kurang 000 dibelakang), nilai nominal menjadi Rp. 1,- (satu rupiah) tapi nilai riel-nya tetap Rp. 1.000,- (seribu rupiah).
Fungsi Uang
Secara umum ada tiga fungsi uang:
1. Sebagai alat transaksi
2. Sebagai alat untuk berjaga-jaga
3. Sebagai alat untuk mengukur dan menyimpan kekayaan
Berikut perbandingan antara sanering dengan redenominasi nilai uang berdasarkan fungsi uang
Sanering redenominasi
Alat Transaksi Daya Beli Berkurang Daya Beli Tetap
Alat Berjaga-jaga Cadangan uang berkurang Cadangan uang tetap
Kekayaan Berkurang Tetap
Dari perbandingan itu, secara sepintas rasanya redenominasi tidak ada pengaruhnya, cuma berubah anggapan saja? Jadi apa fungsinya? Secara umum bagi perekonomian nasional memang begitu. Tapi jika dikaitkan dengan ekonomi regional dan global maka fungsi redenominasi menjadi lebih besar.
Berikut data negara dengan mata uang terbesar untuk tiap lembar uangnya:
Zimbabwe 100.000.000.000
Vietnam 500.000
Indonesia 100.000
Indonesia diperekonomian global berada pada urutan ke-3, negara-negara yang memiliki pecahan mata uang terbesar. Jika kita melihat daftar nilai tukar mata uang di bank saja misalnya:
USD 1 = Rp. 9.200,- (Indonesia)
USD 1 = SGD 1,4,- (Singapura)
USD 1 = Bath 41,- (Thailand)
USD 1 = Ringgit 4,2,- (Malaysia)
Bayangkan, bahwa di antara negara tetangga terdekat saja, nilai uang kita paling kecil. Artinya, secara global kewibawaan mata uang rupiah menjadi sangat kurang. Jumlah uang beredar kita paling besar secara nominal. Karena besarnya, sehingga transaksi ekonomi menjadi tidak efisien jika menggunakan pecahan mata uang kecil, maka BI menerbitkan pecahan mata uang besar (100 ribu rupiah). Andai anda ingin menarik uang senilai 200 juta untuk membeli mobil secara cash, sementara pecahan uang terbesar cuma Rp. 10.000,-. Artinya anda harus membawa dua koper besar untuk membawa uang pecahan 10 ribu rupiah sebanyak 20.000,- lembar. Berapa besar ruangan yang dibutuhkan jika harus menyimpan uang sebesar 10 Trilyun dengan pecahan maksimal Rp. 10.000,- Andaikan jumlah uang kartal (riel) yang beredar sebesar 250 Trilyun dan setiap hari BI menyerap 50 Trilyun. Dengan pecahan Rp. 10.000,- berarti BI harus membangun gedung baru hanya utnuk menyimpan uang itu. Luar biasa kan?
Masalah kewibawaan ini sangat besar pengaruhnya dalam transaksi global. Jika anda pergi ke Singapura, berarti anda perlu membawa uang kas mungkin jumlahnya 10 juta rupiah jika tidak sempat menukarnya dalam mata uang SGD. Apakah anda bisa langsung bertransaksi? Saya jamin tidak ada yang mau menerima uang itu. Anda harus ke money changer dulu untuk mengkonversinya menjadi rupiah. Sayangnya tidak semua money changer menerima rupiah. Ringgit Malaysia bahkan lebih laku di sana dibanding mata uang negara kita yang besar dan luas ini. Saya sampai tercengang melihat kenyataan itu dan sedih juga. Anggaplah anda bertemu dengan money changer yang mau menerima, lalu dengan kurs Rp. 6.500,- per SGD maka sekarang anda menerima SGD 1.540,-. Bayangkan uang 10 juta rupiah atau sebanyak 100 lembar dalam pecahan Rp. 100.000,- tinggal menjadi 17 lembar (15 lembar pecahan 100 dan 2 lembar pecahan 20 SGD). Sekarang anda bisa memasukkan lembaran itu dalam dompet saku anda. Bagaimana kalau anda lupa membawa USD atau EUR, lalu buru-buru anda pergi ke Inggris misalnya. Kemana anda akan menarik uang? Mungkin ada bank yang bisa, tapi saya khawatir apakah mereka punya persediaan rupiah? Wah, sulit sekali menjawabnya.....
Pelaksanaan Redenominasi
Untuk melakukan redenominasi, persyaratan pertama yang harus ditempuh BI adalah mendapatkan restu dari pemerintah (pelaksana kebijakan fiskal) dan DPR (kebijakan legislasi). Pelaku kebijakan moneter (BI) dan kebijakan fiskal (Depkeu) harus berkoordinasi secara cepat, tepat dan sungguh-sungguh, terutama sosialisasi ke masyarakat yang paling bawah. Paling tidak harus diatur agar harga barang-barang di toko dan di pasar jangan sampai berubah drastis dan dalam jangka waktu yang agak panjang dibiarkan ada dua mata uang yang beredar. Misalnya pecahan 1.000 sekarang tetap ada lalu dikeluarkan juga pecahan yang setara (Rp. 1,-) paling tidak selama dua tahun atau lebih, sehingga masyarakat secara alamiah bisa belajar dan mengetahui kebijakan ini. Juga harus dipantau dan dimonitor langsung ke pasar-pasar (jika perlu ada poskonya) dimana dikhawatirkan para pelaku transaksi ekonomi riel di daerah-daerah salah mengerti sehingga mengarah pada kerusuhan. Fungsi polsek mungkin sangat memungkinkan untuk dimaksimalkan sebagai agen sosialisasi di daerah-daerah terutama daerah dengan tingkan turn-over (perputaran ekonomi) yang rendah. Selanjutnya, proses penggantian uang lama dengan uang baru juga harus perlahan-lahan dan jangan ekstrim untuk menghindari adanya issue bahwa uang lama sudah tidak laku misalnya.
Syarat kedua agar pelaksanaan kebijakan ini berhasil adalah inflasi yang stabil. Inflasi adalah suatu kondisi dimana harga-harga barang mengalami kenaikan secara umum dalam periode waktu tertentu. Pemerintah harus menjamin distribusi barang secara ketat. Jika inflasi melonjak, maka secara umum nilai riel uang mengecil sehingga untuk menggenjot nilai riel uang, jumlah uang beredar kembali dinaikkan dan pada akhirnya, nilai uang kembali pada pecahan besar seperti saat ini. Syarat ini tidak mudah dilakukan, karena banyaknya faktor yang mempengaruhi inflasi di negeri ini. Tidak hanya ketersediaan dan distribusi, faktor nilai tukar juga harus diperhatikan karena besarnya struktur komponen impor dalam transaksi ekonomi nasional. Otomatis jika nilai tukar melemah, maka harga impor akan naik dan ujung-ujungnya harga barang juga mengalami kenaikan. Jika ini terjadi, akhirnya pemerintah kembali harus menaikkan jumlah uang beredar dan pecahan besar kembali terjadi.
Syarat ketiga adalah kemandirian ekonomi nasional terutama untuk barang-barang kebutuhan pokok yang menjadi mayoritas transaksi. Paling tidak barang-barang seperti beras, jagung, kedelai, daging, pakan ternak, pupuk, pestisida dan barang-barang hulunya sebagian besar bisa dipasok dari dalam negeri. Barang-barang ini disebut "inflation trigger" atau barang-barang yang bisa memicu terjadinya inflasi secara cepat dalam periode waktu yang lama.
Syarat keempat menurut saya adalah kondisi politik dan keamanan yang kondusif . Indonesia masih harus belajar memisahkan antara ekonomi dan politik secara benar. Sehingga gonjangan yang terjadi pada politik tidak terpengaruh pada ekonomi. Harus ada konsistensi kebijakan minimal 5 (lima) tahun ke depan serta proses monitoring dan review yang jelas dan akurat.
Kebijakan ini bukan tanpa biaya. Menurut saya, BI paling tidak harus mengeluarkan trilyunan rupiah untuk pencetakan uang baru, sosialisi dan monitorisasi pelaksanaannya. Untuk pelaksaan 3D (Dilihat, Diraba, Diterawang = iklan untuk mengecek keaslian uang), BI harus menghabiskan ratusan milyar untuk iklan diberbagai media. Apalagi kebijakan redenominasi yang memakan waktu tahunan dan frekwensi iklan tidak saja cetak dan elektronika bahkan poster tempel yang jumlahnya jutaan lembar.
Regards,
Anshari
Monday, August 2, 2010
Kemiskinan
Miskin.... Kata ini seolah-olah menjadi satu kata yang begitu laku dijual dalam kampanye-kampanye, isinya pasti tidak lebih dari "mengurangi kemiskinan", "berjuang demi orang miskin", "membela orang miskin", atau kata-kata lainnya yang intinya sama. Semua calon pejabat di negara ini pasti meneriakkan hal-hal yang bagus untuk orang miskin. Kenapa? Karena mereka butuh dukungan orang-orang miskin. Kenapa mereka butuh? Simple, karena jumlah orang miskin sangat besar dinegara ini sehingga mampu mendorong seseorang menjadi pejabat yang berkuasa.
Secara definisi, "miskin" dihubungkan dengan jumlah penghasilan seseorang. Orang dikatakan miskin jika kemampuannya untuk menghasilkan finansial dalam satu periode berada di bawah biaya hidupnya. Anggaplah biaya hidup dasar seperti makanan sebesar Rp. 10.000.- maka kata miskian akan melekat jika dia hanya mampu menghasilkan di bawah angka tersebut.
Semua orang tahu, bahwa kebutuhan hidup itu tidak hanya makan, tapi juga pendidikan, kesehatan, perumahan dan pakaian. Jika orang miskin tidak mampu memenuhi biaya untuk makan apalagi untuk lainnya. Pertanyaan ini yang harus dijawab dan dicari jalan keluarnya?
Kita bisa lihat sekeliling kita. Lihatlah PUSKESMAS yang rumah sakitnya orang miskin, apa yang bisa ditanggulanginya. Obatnya sama semua, dokternya jarang nongol, apalagi kalau sudah menyangkut penyakit akut, apakah Puskesman bisa menanggulanginya. Kalau tidak? Kemana para orang miskin harus berobat.
Pendidikan. OK-lah SD dan SMP masih bisa murah, bagaimana SMA dan perguruan tinggi. SMA mungkin masih bisa dicari biayanya, tapi apakah bisa Perguruan Tinggi. Berapa harga kursi di PT Negeri di negara ini. Ambillah contoh UGM yang katanya punya konsep ekonomi kerakyatan, berapa uang pangkalnya dan semesterannya, sudah jutaan dan jauh dari jangkauan orang-orang miskin. Dengar harganya saja para orang miskin sudah jatuh semangat belajarnya.
Mungkin pendapat saya ini terlalu subjektif, seolah-olah negara tidak memperhatikan orang miskin. Bukankah ada beasiswa, bukankah ada tunjangan buat orang tidak mampu atau bukankah ada departemen sosial. Saya bilang memang ada, tapi apakah itu efektif untuk mengurangi orang miskin. Apakah ada penelitian yang mengatakan bahwa jumlah orang miskin yang kuliah meningkat dari tahun ke tahun. Yang ada sekarang adalah, kursi di Perguruan Tinggi Negeri, jatah SPMB-nya dikurangi karena digunakan untuk sistem seleksi yang lain. Entah itu namanya jalur mandiri, jalur prestasi, tapi ujung-ujungnya...lebih mahal.
Saya tidak tahu apakah pemerintah memang tidak punya uang untuk kesehatan dan sekolah itu. Tapi yang saya tahu, tunjangan para pejabat cukup besar, baik itu di eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Seandainya saja, masing-masing pejabat itu disisihkan Rp. 5 juta perorang untuk tambahan pendidikan dan kesehatan, saya yakin ratusan ribu orang bisa meningkatkan taraf hidupnya.
Untuk kesehatan sebenarnya pemerintah bisa mengevolusi PUSKESMAS menjadi pusat kesehatan yang setara rumah sakit. Bayangkan itu terjadi, maka tidak ada lagi penderita demam berdarah, malaria, kurang gizi, gondok, vaksinasi bayi yang tidak tertangani. Jadikan puskesmas itu 24 jam dan wajibkan seorang dokter ahli untuk menangani 1 Puskesmas, agar mereka rajin dalam bekerja beri penghasilan selayaknya mereka kerja di swasta atau jika mereka memang tidak berniat baik, cabut ijin operasinya. Tapi apakah itu mungkin? Saya juga menjawabnya "Mungkin saja" tapi dalam bayangan.
Bagi saya sebenarnya orang miskin itu tidak membutuhkan sedekah ataupun bantuan dalam bentuk uang. Tapi yang paling efektif adalah kesempatan. Beri mereka kesempatan untuk bekerja atau berwirausaha, paling tidak 20-30% pasti bisa berhasil. Siapkan sebanyak-banyaknya Balai Latihan Kerja, Bantu Market mereka, saya yakin orang miskin akan merubah hidupnya sendiri.
Dari pemilu ke pemilu tidak ada perubahan. Pemimpin terus saja berganti, tapi kata orang miskin dan berbuat untuk orang miskin hanya lipstik belaka. Mana realisasinya?
Saya juga hanya bisa bertanya.....
Secara definisi, "miskin" dihubungkan dengan jumlah penghasilan seseorang. Orang dikatakan miskin jika kemampuannya untuk menghasilkan finansial dalam satu periode berada di bawah biaya hidupnya. Anggaplah biaya hidup dasar seperti makanan sebesar Rp. 10.000.- maka kata miskian akan melekat jika dia hanya mampu menghasilkan di bawah angka tersebut.
Semua orang tahu, bahwa kebutuhan hidup itu tidak hanya makan, tapi juga pendidikan, kesehatan, perumahan dan pakaian. Jika orang miskin tidak mampu memenuhi biaya untuk makan apalagi untuk lainnya. Pertanyaan ini yang harus dijawab dan dicari jalan keluarnya?
Kita bisa lihat sekeliling kita. Lihatlah PUSKESMAS yang rumah sakitnya orang miskin, apa yang bisa ditanggulanginya. Obatnya sama semua, dokternya jarang nongol, apalagi kalau sudah menyangkut penyakit akut, apakah Puskesman bisa menanggulanginya. Kalau tidak? Kemana para orang miskin harus berobat.
Pendidikan. OK-lah SD dan SMP masih bisa murah, bagaimana SMA dan perguruan tinggi. SMA mungkin masih bisa dicari biayanya, tapi apakah bisa Perguruan Tinggi. Berapa harga kursi di PT Negeri di negara ini. Ambillah contoh UGM yang katanya punya konsep ekonomi kerakyatan, berapa uang pangkalnya dan semesterannya, sudah jutaan dan jauh dari jangkauan orang-orang miskin. Dengar harganya saja para orang miskin sudah jatuh semangat belajarnya.
Mungkin pendapat saya ini terlalu subjektif, seolah-olah negara tidak memperhatikan orang miskin. Bukankah ada beasiswa, bukankah ada tunjangan buat orang tidak mampu atau bukankah ada departemen sosial. Saya bilang memang ada, tapi apakah itu efektif untuk mengurangi orang miskin. Apakah ada penelitian yang mengatakan bahwa jumlah orang miskin yang kuliah meningkat dari tahun ke tahun. Yang ada sekarang adalah, kursi di Perguruan Tinggi Negeri, jatah SPMB-nya dikurangi karena digunakan untuk sistem seleksi yang lain. Entah itu namanya jalur mandiri, jalur prestasi, tapi ujung-ujungnya...lebih mahal.
Saya tidak tahu apakah pemerintah memang tidak punya uang untuk kesehatan dan sekolah itu. Tapi yang saya tahu, tunjangan para pejabat cukup besar, baik itu di eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Seandainya saja, masing-masing pejabat itu disisihkan Rp. 5 juta perorang untuk tambahan pendidikan dan kesehatan, saya yakin ratusan ribu orang bisa meningkatkan taraf hidupnya.
Untuk kesehatan sebenarnya pemerintah bisa mengevolusi PUSKESMAS menjadi pusat kesehatan yang setara rumah sakit. Bayangkan itu terjadi, maka tidak ada lagi penderita demam berdarah, malaria, kurang gizi, gondok, vaksinasi bayi yang tidak tertangani. Jadikan puskesmas itu 24 jam dan wajibkan seorang dokter ahli untuk menangani 1 Puskesmas, agar mereka rajin dalam bekerja beri penghasilan selayaknya mereka kerja di swasta atau jika mereka memang tidak berniat baik, cabut ijin operasinya. Tapi apakah itu mungkin? Saya juga menjawabnya "Mungkin saja" tapi dalam bayangan.
Bagi saya sebenarnya orang miskin itu tidak membutuhkan sedekah ataupun bantuan dalam bentuk uang. Tapi yang paling efektif adalah kesempatan. Beri mereka kesempatan untuk bekerja atau berwirausaha, paling tidak 20-30% pasti bisa berhasil. Siapkan sebanyak-banyaknya Balai Latihan Kerja, Bantu Market mereka, saya yakin orang miskin akan merubah hidupnya sendiri.
Dari pemilu ke pemilu tidak ada perubahan. Pemimpin terus saja berganti, tapi kata orang miskin dan berbuat untuk orang miskin hanya lipstik belaka. Mana realisasinya?
Saya juga hanya bisa bertanya.....
Subscribe to:
Posts (Atom)